Berkenalan – KKN Hari ke 2
Minggu, 2 Juli 2017
Tumpeng dari ketan hitam serta dua sisir pisang besar
diletakkan di lantai beralaskan tikar, bagian pucuknya terdapat telur rebus
yang dikupas setengah. Tumpeng itu diletakkan sejajar dengan pejabat yang
saling duduk bersebelahan. Puluhan bapak-bapak saling berhadapan di masjid kayu
untuk membicarakan sesuatu. Kata bapak kepala adat, ini adalah bangunan masjid pertama
di Desa Teluk Pandan.
Pagi-pagi sekitar pukul tujuh kami diajak pak kepala adat
untuk hadir menyaksikan musyawarah penanaman padi. Kepala Desa membuka acara
dengan sambutan berbahasa Indonesia, dilanjutkan dialog singkat yang sebagian
besar menggunakan bahasa Bugis. Musyawarah terjadi tanpa membuat urat leher
tegang, dan akhirnya semua sepakat bahwa penanaman benih di desa ini
berlangsung tanggal 10 sampai 20 Juli.
“Musyawarah ini dek, dibuat supaya penanamannya serentak. Kalau
sendiri-sendiri nanti hama akan lebih mudah menggerogoti padi karena ladang
yang sempit, kasian yang nanam terakhir bisa gagal panen,”
kata pak kepala adat setelah selesai acara.
Siang hari
kami menuju kota terdekat dari desa, tujuan utamanya adalah Taman Wisata
Mangrove BSD. Aku sendiri nggak tau pohon mangrove kayak gimana, tapi dari namanya
kelihatannya seru. Kata Rizky, anggota KKN yang juga warga asli Bontang, wisata
terpopuler kota ini sebenarnya ada di Beras Basah. Cuman lokasinya sedang
ditutup sementara karena ada renovasi.
Menurutku Bontang adalah kota yang sehat. Walaupun hari
minggu, kota ini nggak macet (justru cenderung sepi). Nggak ada sampah
berserakan, kendaraan tua masih banyak dan pohon-pohon di sekitar kota
memastikan paru-paru mendapatkan oksigen segar ditambah asmaul husna yang
terpampang di sepanjang jalan. Kalau semuanya dirangkum, kota ini menawarkan
kebebasan mengatur kecepatan kendaraan dengan udara sejuk dan ditemani
nama-nama Allah yang otomatis terbaca karena selalu dilewati.
Matahari sudah tenggelam ketika kami kembali menuju posko.
Semua terlihat baik sampai kami teringat pesan Putri, ketua kelompok kami.
Mardi dan Rendy sudah melaju menuju posko, sementara di pandangan hanya terlihat
Rizky dan Dery. Segera kupanggil mereka untuk membeli satu dus Vit di warung
kelontong. Dengan alasan motorku dan Wawal bertransmisi matic, satu dus Aqua
gelas ditaruh di injakan kaki.
Baru lima menit, Wawal sudah mengeluh kalau kakinya nggak
bisa dipijakkan dengan baik. Aku dipaksanya menaruh satu dus aqua gelas di
tengah antara aku dan Wawal. Dengan begitu, otomatis selama perjalanan aku
harus duduk di besi motor dan kakiku ngangkang selama perjalanan.
Jarak antara Bontang dan desa Teluk Pandan idealnya ditempuh
dalam 30 menit kalau menggunakan kecepatan standar antar kota. Tapi karena membawa
banyak bawaan dan jalan yang kadang-kadang berlubang, kami memilih berjalan
pelan karena takut terlempar kalau melaju terlalu cepat. Sepanjang perjalanan
kami bercerita tentang apapun, sambil berusaha menutupi rasa takut karena tak
ada lampu jalan. Lampu motor kami adalah satu-satunya cahaya untuk melintasi
desa. Jalan yang panjang ini hanya digunakan oleh kami. Terkadang ada mobil
sejenis Pajero melintasi jalan dengan kecepatan tinggi, kemudian kembali hilang
dan begitu seterusnya. Sekitar satu jam, kami baru sampai ke posko setelah
hampir menelepon teman karena takut nyasar.
Malamnya, sekitar jam sembilan, posko kami kedatangan Karang
Taruna Gotong Royong, organisasi pemuda yang biasa aktif mendukung kegiatan
desa. Kami disambut dengan suasana santai, meskipun terasa kaku karena belum
akrab. Dari silaturahmi pertama, intinya kami akan saling bertukar pengalaman,
saling bantu-membantu dalam berkegiatan.
Komentar
Posting Komentar
Kalau sudah dibaca langsung kasih komentar ya. Biar blog ini keliatan banyak yang baca.