Jumatan Terbasah – KKN Hari ke 28
Jumat, 28 Juli 2017
Setelah merasa bahagia membuat lapangan, aku, Wawal dan Dery
bergegas mandi sebelum sholat Jumat. Kami hompila
hompimpa untuk menentukan siapa yang berhak menggunakan kamar mandi lebih
dulu. Aku menjadi pemenangnya dan memilih kamar mandi sebelah kanan. Wawal dan
Dery kemudian siun sebanyak tiga kali
untuk merebutkan kamar mandi sebelah kiri, Wawal menang dengan skor 3-0.
Dengan kamar mandi yang cuman bersebelahan, aku dan Wawal
manfaatkannya dengan bercerita. Aku mengungkapkan rasa senangku karena telah
berkontribusi untuk pembuatan lapangan, dari sebelah Wawal menyuarakan rasa
senang yang sama.
Kulihat jam tangan anti air yang kubawa ke kamar mandiku,
sudah menunjukkan pukul 12.05. Kurang dari setengah jam lagi adzan Jumat
berkumandang. Kupercepat kegiatan mandiku.
Setelah mandi, aku langsung mengambil hanger berisi baju
muslim yang sebelumnya kugantung di teralis kamar. Kuambil kunci motor dan
langsung berangkat ke masjid. Seharusnya begitu, tapi kenyataannya aku malah
selonjoran di kamar, menunda sejenak dengan alasan belum adzan juga. Sejujurnya
aku masih capek setelah kerja bakti membangun lapangan.
Sekitar 10 menit kemudian suara adzan di masjid As-Shabirin
berkumandang, artinya aku nggak boleh menunda lagi. Masjid tersebut berada
empat kilo dari posko kami, itu adalah yang terdekat. Sebenarnya ada rumah
ibadah yang lebih dekat, kurang dari satu kilo, tetapi masih berupa langgar
jadi nggak bisa digunakan untuk menunaikan ibadah sholat jumat.
Aku membonceng Wawal dengan kecepatan ala kadarnya. Jalan
poros Bontang-Sangatta ini menjadi sepi ketika hari Jumat. Hama tanaman berupa
serangga yang biasanya menyeberang jalan juga jarang tertabrak badanku. Hanya
rintik-rintik hujan saja yang sesekali menghampiri kami.
“Mau hujan ini Wal, kayaknya harus cepat-cepat aja kita Wal,”
kataku meminta persetujuan. Wawal juga berpikir hal yang sama.
Kuputar gas motorku lebih dalam, semakin cepat kami jalan,
semakin deras juga hujan turun. Nggak sampai satu menit setelahnya kami diguyur
hujan begitu deras, baju muslimku basah seperti habis dicuci tapi belum
dikeringkan. Wawal dengan liciknya bersembunyi di belakang badanku, tangannya
dijejalkan di tengah supaya nggak terlalu basah.
“Kayak mana ini Wal, makin deras ini eh,” kataku setengah
berteriak, padahal aku juga tahu jawabannya.
“Mana bisa berhenti, Kuh!”
Jalan yang kami lewati sekarang adalah poros
Bontang-Sangatta. Jarak antar rumah berjauhan, warung juga jarang, apalagi
tempat beristirahat. Jadi kalau berhenti juga nggak ada tempat berteduh,
sementara hujan semakin deras dan air terasa sakit ketika terbentur kulit.
Hari ini rasanya mati sudah dekat. Kujalankan motorku pelan,
mataku kupaksa terbuka meskipun idealnya harus ditutup. Jarak pandang hanya
beberapa meter, aku takut tiba-tiba ada truk bermuatan berat melintas dari arah
yang berlawanan. Aku sempat berpikir, kalau aku mati hari ini setidaknya dalam
keadaan syahid karena saat sedang menuju masjid.
Beberapa meter selanjutnya aku berhasil sampai ke masjid dan
segera memarkirkan motor di tempat terdekat. Aku berlari seperti anak kecil di
halaman masjid untuk menuju tempat wudu pria. Bersyukur, takdirku masih belum
menulis kalau aku mati hari ini.
Komentar
Posting Komentar
Kalau sudah dibaca langsung kasih komentar ya. Biar blog ini keliatan banyak yang baca.