Menanam Jagung – KKN Hari ke 25
Selasa, 25 Juli 2017
Seluruh anak laki-laki bangun pukul tujuh tiga puluh. Semua
berencana joging kecuali Aku, Wawal dan Dery. Saat halalbihalal di kantor camat
kemarin kami bertemu Pak Tarmidi, ketua Kelompok Tani
Gotong Royong.
“Kalau besok nggak sibuk, ayo ikut tanam jagung. Bantu
sebentar, foto-foto lumayan buat laporan. Ketemunya di depan Pasar Pandan Raya,”
katanya kemarin. Pak Tarmidi mengerti kalau selama KKN kami membutuhkan foto
dokumentasi karena ketiga anaknya juga pernah menempuh bangku kuliah.
Sebenarnya pagi ini kami masih malas karena terlalu pagi,
apalagi kemarin tidur tengah malam karena sibuk melanjutkan kompetisi PES. Mau
pura-pura nggak bangun tapi kemarin sudah terlanjur mengiyakan ajakannya. Jadi
dengan rasa malas kuambil almamater dan kupasang di badan. Aku hanya mencuci
muka dan sikat gigi sebelum berangkat. Mandinya nanti aja, air di desa ini
lebih dingin daripada air perkotaan kalau pagi hari. Lagian setelah menanam
jagung kan pasti keringatan juga, lebih baik sekalian saja.
Kami sudah terlambat 30 menit dari waktu yang dijanjikan.
Baru mau berangkat, sebuah WhatsApp dikirimkan oleh Dede.
Aku menelan ludah, kami segera menuju ke tempat yang
dijanjikan.
Kami sampai di Depan Pasar tapi beliau nggak ada. Aku
menelepon Pak Tarmidi dan langsung diangkat. Suaranya nggak pakai capslock, hanya
seperti bapak-bapak yang sedang berbicara pada umumnya. beliau mengarahkan
jalan ke kebun karena mereka sudah berada di lokasi. Katanya, untuk ke kebun
kami harus melewati jalan di sebelah rumah besar yang ada mobil Hilux-nya,
parkiran saja motor di depan rumah, terus jalan kaki sampai melewati kebun
sawit karena dekat aja. “Saya saja jalan kaki,”
katanya.
Kami sampai kebun beberapa menit kemudian. Hamparan tanah
yang lebih luas dari lapangan sepak bola berumput kering siap ditanami
bibit-bibit jagung. Sebelum ikut menanam, kami diwajibkan makan di bawah pohon
dulu. Makanan yang dimaksud adalah lemper, kumakan satu batang dengan sambal
merah dan air putih yang gelasnya bergantian.
“Beginilah kehidupan petani, nanti saya ajarin gimana cara
nanamnya,” kata Pak
Tarmidi yang hari itu menggunakan kacamata berlensa anti silau.
Salah seorang petani membagikan tugas kepada kami. Aku terpilih
sebagai pembuat garis karena postur tinggi, sementara Dery dan Wawal
mendapatkan tugas sebagai peletak bibit. Selain kami, ada juga petani lain yang
kerjanya menumbuk tanah menggunakan kayu tajam sebagai tempat untuk diletakkan
benih jagung.
Nama varian benihnya adalah BISI 2 dengan produsen PT. BISI Internasional
Tbk. Di kemasannya tertulis “BENIH BANTUAN PEMERINTAH: TIDAK UNTUK
DIPERJUALBELIKAN.” Pak Tarmidi bilang, pemerintah Kabupaten Kutai Timur mengabulkan
proposalnya dengan memberikan bibit sebanyak 1,2 ton, padahal menurutnya jumlah
tersebut terlalu banyak, waktu itu beliau kira pemerintah hanya bisa
menyanggupi separuhnya saja. Tapi nggak papa, namanya rezeki. Begitu katanya.
Pekerjaanku sebagai pembuat garis cukup mudah. Aku berdiri
di tengah dan tinggal berkoordinasi ke dua pembuat garis lainnya yang berada di
ujung tali. Talinya sendiri berjenis sama seperti tali jemuran. Nantinya garis
ini sebagai patokan agar barisan jagung menjadi rapi.
Setelahnya, petani yang bertugas sebagai penumbuk akan
memukulkan kayu runcingnya ke tanah sesuai garis yang sudah kami buat. Kira-kira
jarak antar garis adalah dua langkah kaki orang dewasa. Nah, selanjutnya
petugas penebar bibit melakukan tugasnya dengan memasukkan dua buah bibit
jagung ke lubang dan menutupnya.
Semua dilakukan secara gotong royong.
“Eee mahasiswa, coba pakai ini, supaya tangan nggak lecet,”
kata seorang bapak petani dengan perhatiannya. Beliau memanggilku sebagai “mahasiswa”,
bukan “dek” atau “mas” atau “bro”. Bangga rasanya.
Karena
tugas membuat garis sudah selesai, aku coba menjadi petugas penebar bibit juga. Ternyata menanam
jagung lebih melelahkan dan membuat punggung sakit karena harus menunduk agar
bisa meletakkan bibit tepat ke dalam lubang. Aku mencoba terobosan baru dengan
melempar bibit jagung dengan harapan bisa masuk ke dalam lubang tanpa menunduk.
Kadang masuk, kadang enggak. Kalau nggak masuk terpaksa aku memungutnya dan
meletakkan secara manual.
Setelah setengah jam (yang terasa seperti dua jam) itu, kami
lelah dan untungnya petani-petani yang sudah bekerja saat kami masih tidur juga
merasakan hal yang sama. Jadi kami beristirahat kembali di bawah pohon, Pak
Tarmidi yang juga ketua RT 12 sekalian membahas acara 17 Agustus yang akan
hadir dalam hitungan minggu.
RT 12 berencana membangun lapangan voli, sepak takraw dan
futsal untuk membuat 17an menjadi meriah. Menariknya, kami dianggap serba tahu
oleh para petani. Pak Tarmidi menanyakan kepada kami berapa tinggi dan lebar
masing-masing lapangan yang kami sendiri nggak tahu ukurannya. Untung ada
Google, jadi kami cari di internet lalu memberikan ukuran lapangannya kepada
beliau saat itu juga. Mereka langsung percaya kepada kami, seorang mahasiswa.
Aku yang berada di sampingnya diminta untuk menuliskan apa
yang kami sebutkan tadi di handphone berwarna miliknya. Beliau bilang, urusan
mengetik di handphone anak muda jagonya. Mulailah kutulis ukuran lapangan
sesuai angka yang disebutkan Dery. Saat kuketik, ternyata handphone milik Pak
Tarmidi dalam posisi caps lock semua.
Ternyata kepada siapapun beliau mengirimkan SMS, semuanya
pakai capslock.
Komentar
Posting Komentar
Kalau sudah dibaca langsung kasih komentar ya. Biar blog ini keliatan banyak yang baca.