Petani Terlucu – KKN Hari ke 5
Rabu, 5 Juli 2017
Pak Tansi langsung memanjat pohon kelapanya sendiri setelah
ditetapkan menjadi ketua RT untuk kedua kalinya secara berturut-turut. Beliau
mengambil sekitar 10 buah kelapa segar, kemudian mengupasnya menggunakan parang
yang sudah menghitam. Awalnya, satu orang mau diberinya satu kelapa. Tetapi
kami menolak secara halus karena perut pasti jadi kembung.
Wawal adalah orang pertama yang meminum airnya. Dia sudah
meminum bahkan sebelum aku dan Dery turun ke halaman rumah Pak Tansi. Di sekitar
tempat pemotongan kelapa terlihat tumpukan kayu bakar yang kemungkinan besar untuk
persediaan memasak. “Foto aku, Kuh!” kata Wawal
setengah teriak. “Landscape,” tambahnya. Tentu saja aku juga ingin
difoto juga.
Siang ini, panitia pemilihan ketua RT melakukan musyawarah
demi menunjuk pemimpin periode lima tahun ke depan. Lokasi ditetapkan di rumah Pak
Tansi yang merupakan calon tunggal di RT 10. Nggak ada calon lain, karena di RT
ini memang hanya 7 rumah, sisanya ladang padi, buncis, kacang panjang, pisang,
kelapa dan sawit.
Untuk menuju rumah Pak Tansi, butuh waktu sekitar 15 menit
menggunakan motor, atau dua hari kalau naik mobil dari depan jalan besar.
Jalanannya belum diaspal, hanya batu-batu besar supaya motor nggak amblas
ketika dilewati sehabis hujan. Walaupun agak jauh, tapi di sekeliling mata
terdapat hamparan ladang padi dan sapi-sapi yang sedang makan rumput. Pemandangan
yang nggak bakal ada di perkotaan.
Kami masuk kembali ke rumah kayu miliknya. Ruang tamu, kamar
dan ruang masak hanya disekat oleh karung-karung berisi padi hasil panen. Pak
Tansi bilang, tumpukan padi itu nggak dijual. Kalau mau makan, keluarganya
tinggal menggilingnya ke rumah di dekat jembatan. Mau mencari lauk juga sudah
ada sayur-sayuran yang sudah ditanam sendiri. Jadi, beliau sekeluarga bisa
bertahan di ladang tanpa keluar RT selama berbulan-bulan. Kalaupun dunia
terkena serangan zombie, sepertinya rumah
Pak Tansi tetap aman karena zombie
juga nggak tahu kalau ada rumah di sini.
Tersisa kami anak-anak KKN yang masih ada kepentingan
membuat pemetaan sosial. Pembicaraan mengalir begitu saja, dari mulai cerita
Pak Tansi yang baru tinggal di sini tahun 2012 sampai cerita dirinya yang
sempat kerja sebagai tukang kebun di Malaysia selama belasan tahun.
Malaysia memberikan banyak pengalaman. Di sana, beliau cukup
ditakuti karena kumis tebal dan rambut gondrong sampai pantat. Sebenarnya Pak
Tansi juga nggak terlalu suka dengan kumis tebalnya. Pernah waktu itu beliau
mencoba menghilangkan kumis dengan cara mencabutnya satu per satu menggunakan
jari tangan sendiri. Ternyata baru setengah kumisnya dicabut, Pak Tansi
menangis kesakitan dan usaha pencabutan kumis dihentikan. Orang-orang langsung
ketawa dengan kumis setengahnya, tapi Pak Tansi langsung bereaksi keras. “Apa
kamu ketawa-ketawa,” katanya tegas kepada orang yang menertawainya, tapi beliau tertawa
saat menceritakannya ke kami.
Pak Tansi juga nggak tahu berapa usianya sekarang. Kalau ada
yang bilang usia hanyalah angka, tentu saja Pak Tansi mengartikan dalam arti
sebenarnya. Saat di Malaysia, beliau mengaku umurnya sudah 40 tahun. Namun beberapa
tahun setelah bekerja dan kembali ke Indonesia, umurnya jadi 35 tahun. Pak
Tansi kembali muda.
![]() |
Pak Tansi dan senyuman ramahnya. |
Selama di Malaysia, Pak Tansi juga pernah berniat menikah
dengan anak berusia 14 tahun. Sementara istri dan anaknya kembali ke kampung
halaman. Mas kawin berupa 5.000 ringgit sudah disiapkan untuk keluarga mempelai
wanita. Tapi beberapa hari sebelum pernikahan, Pak Tansi kembali teringat
istrinya. Karena merasa bersalah, Pak Tansi memutuskan kembali ke Indonesia,
tetapi beliau harus mencari alasan agar pernikahan dibatalkan. “Aku
mau pulang ke Indonesia dulu, nenekku meninggal,” katanya waktu itu. Lalu, pulanglah
beliau ke Indonesia.
“Nenekku meninggal, tapi sudah lama sebelum aku pergi ke
Malaysia,” jawabnya sambil terpingkal-pingkal. Aku, Wawal, Dery ikut
tertawa lepas begitu diceritakannya. Jarang sekali kami berhasil dibuat tertawa
oleh orang yang sudah berumur.
Wawancara pemetaan sosial berakhir pada pukul enam sore.
Kami membawa pulang data sosial dan rasa senang. Dua botol air kelapa dan dua
plastik daging kelapa diberikan Pak Tansi sebagai oleh-oleh. Buatku, beliau
merupakan orang yang sangat ramah dan banyak bersyukur. Dunia berjalan, begitu
juga Pak Tansi yang terus melanjutkan kehidupan tanpa beban. Menurutku, beliau
sudah mengambil keputusan yang tepat, istri yang selalu mendampinginya selama
kami ngobrol justru ikut bercanda ketika suaminya menceritakan pengalaman itu
kepada kami.
Satu tahun lagi, sawit seluas lima hektar yang ditanamnya
selama dua tahun terakhir mulai bisa dipanen. Beliau bilang, bila sawit
miliknya tidak banyak termakan hama, jumlah pendapatannya bisa setara dengan manager di kantor perkotaan. Tetapi aku
yakin, uang bukan segalanya buat Pak Tansi, yang penting beliau bisa terus
bersama istrinya dan hidup berbahagia.
Komentar
Posting Komentar
Kalau sudah dibaca langsung kasih komentar ya. Biar blog ini keliatan banyak yang baca.