Sepak Bola Kandang Sapi – KKN Hari ke 3
Senin, 3 Juli 2017
Pintu posko sudah dibuka ba’da dzuhur. Empat anak-anak setinggi
pinggang tiba-tiba
datang masuk ke ruang tamu. Mereka hanya diam, memperhatikan serunya
pertandingan lanjutan Liga PES, atau memerhatikan aku dan Wawal bermain catur.
Beberapa kali kami yang nggak dapat giliran tanding mengajaknya bercerita,
tetapi mereka hanya menjawab ketika ditanya nama dan kelas berapa. Kue-kue
tawaran kami juga nggak di respons. Mungkin mereka masih malu-malu.
Kaus mereka adalah jersey sepak bola. Ada yang berseragam
Manchester United dengan nama punggung Ibrahimovic, jersey Chelsea dengan nama
Pedro, AC Milan bernama Kaka. Sepertinya mereka mencintai sepak bola, jadi
Wawal berinisiatif mengajaknya bertanding. “Ada lapangan besar di belakang sana,”
kata si Ibrahimovic.
Mereka berdiri, satu pamit pergi mengambil bola. Satu lagi
membawa motor karena ingin menjemput temannya. Anak-anak ini bersemangat,
begitu juga dengan kami yang nggak pernah tanding sepak bola kampung. Aku,
Wawal, Dery, Rendy, Mardi mengikuti mereka menuju lapangan. Sementara Rizky
tertinggal karena saat kita berangkat dia sedang buang air.
Pertandingan berlangsung di sebuah lapangan kandang sapi.
Ya, kandang sapi dalam arti kata sebenarnya. Tanahnya diselimuti rumput-rumput
pendek dengan beberapa batang kayu tersebar di sekitar lapangan. Sebelum
pertandingan, pemain bola harus menerjang sapi-sapi yang sedang ngobrol
terlebih dulu. Karena kandang sapi, jadi harap dimaklumi kalau ada tai sapi
kering.
Pemilihan tim dibagi berdasarkan warna baju yang sedang
dipakai. Aku satu tim dengan Mardi karena hari ini mengenakan baju berwarna
hitam. Dery, Wawal dan Rendy di tim lawan karena mereka memakai baju berwarna
terang. Selama permainan, kami semua merasa senang walaupun harus menghadapi
rintangan non-teknis. Selain harus melewati pemain, kami juga harus menghindari
beberapa batang pohon dan beberapa tai sapi yang berserakan.
Di sini, anak-anak terlihat bahagia. Ketahanan tubuhnya
masih terjaga walaupun selama satu jam tak berhenti mengejar bola. Sesekali
mereka terjatuh karena bola yang ditendang keras membentur wajah. Beberapa kaki
mereka juga terkena tai sapi kering, tetapi hanya Dery yang terkena tai sapi
hangat, membuatnya diketawakan anak-anak.
Pertandingan berakhir dengan skor nggak terhitung. Kalah menang
nggak ada pengaruhnya bagi kebahagiaan. Setelah pertandingan kami saling
bersalaman sebagai tanda persahabatan, lalu mereka pulang ke rumahnya
masin-masing.
----
Pintu kamar laki-laki diketuk saat semua dari kami masih
tidur. Kompetisi Liga PES tadi malam berakhir pukul dua dini hari membuat kami
tidur nyenyak. Itulah pertanda kalau aku harus bangun karena pagi ini kebagian
jadwal piket memasak. Enggar bilang, menu pagi ini adalah sayur sop, sambal
ulek dengan lauk ikan bawis, sebuah ikan gemuk berbintik-bintik tapi badannya
tak terlalu panjang. Kemarin saat membelinya Rizky bilang, ikan ini hanya ada
di Bontang. Aku percaya saja karena memang nggak tahu apa-apa.
Dalam kegiatan memasak kali ini aku mendapatkan tugas
menjadi garda terdepan dalam memasak, alias kebagian menjadi petugas pengupas
bawang putih, pemotong buncis dan pematah batang daun kol. Selama di Samarinda,
aku memang nggak pernah memasak apapun selain Indomie, pop mie dan bagiku yang paling sulit adalah telur
goreng. Jadi dalam urusan masakan yang rumit aku mencari pekerjaan paling mudah
dan belajar dari yang paling dasar.
Masakan kelompok kami dimakan semua anggota, ternyata
rasanya enak. Aku merasa berhasil mengerjakan tugasku sebagai pemotong buncis
handal. Tentu saja aku nggak berperan banyak dalam membuat sop menjadi enak.
Enggar dan Yamini adalah koki sebenarnya, tetapi aku dan Wawal juga berperan
meski berawal dari mematahkan batang daun kol, masakan ini menjadi nikmat.
Komentar
Posting Komentar
Kalau sudah dibaca langsung kasih komentar ya. Biar blog ini keliatan banyak yang baca.