Bertemu Binatang Buas – KKN Hari ke 39
Selasa, 8 Agustus
2017
Selepas rumah belajar, sekitar pukul sembilan malam, pintu kamar diketuk. Aku yang baru saja
masuk diminta keluar lagi. Kudengar suara Dede yang meminta untuk mengantarkan
seorang murid ke rumahnya karena nggak dijemput.
Murid yang dimaksud Dede adalah Faisal, anak kelas enam yang
baru pertama kali datang ke rumah belajar karena diajak Nabil. Anak laki-laki malam
ini hanya ada aku dan Wawal. Kami berdua sama-sama masih malas keluar malam, jadi
kami siun tiga kali dan aku menang. Artinya aku tetap berada di posko sementara
Wawal mengantar Faisal.
Selain mengantar Faisal, kuminta Wawal untuk sekaligus
membeli snack untuk menambah nafsu makan. Kebetulan hari ini jadwal piket
memasak kelompokku, dan kali ini hanya membuat menu andalan sayur buncis dan
jagung beserta tahu yang digoreng tepung.
Wawal belum menemukan kunci motor padahal aku cek motornya
masih berada di garasi. Dicarinya di celana panjang, almamater dan kantong
lainnya tetap nggak ada. Dede bilang pakai motornya saja, tetapi Wawal nggak
bisa bawa motor gigi. Karena agak nggak enak karena mulai kemalaman, jadi aku
mengalah saja dan mengantarkan Faisal.
Sepanjang perjalanan aku mengajak Faisal bercerita tentang
kegiatannya di sekolah, katanya malam ini dia datang ke posko untuk dibantu
mengerjakan PR yang dia nggak ngerti. Dia juga cerita tentang Nabil yang nakal di sekolah,
sampai dilempar penghapus papan tulis oleh guru. Aku mendengarkannya sambil
senyum membayangkan suasana saat itu. Waktu SD dulu, sering sekali punggungku
ditampar rotan (yang katanya tanda sayang) karena cukup nakal dan suka bermain
kejar-kejaran.
“Masuk
sini kak,” katanya sambil menunjuk jalan kecil di bawah jembatan.
Ternyata masjid yang dimaksud bukan masjid di mana aku biasasalat Jumat, tetapi masjid
yang kudatangi di hari ke dua KKN saat sedang rapat penentuan penanaman padi (link). Jalannya sudah disemenisasi
tetapi hanya bisa dilewati satu motor saja, jadi aku melewatinya dengan
hati-hati apalagi sekarang sudah malam.
“Masih jauh lagi kah ini Sal?” kataku setelah masuk ke dalam gang
cukup dalam namun tetap nggak sampai-sampai juga.
“Sudah dekat kok kak,” katanya. Kami terus menyusuri jalan
jelek dan hanya ditemani terang lampu motor.
Sampai di belokan siku-siku menuju masjid kami menemukan
suatu makhluk yang harusnya kutemui di kebun binatang saja. Seekor binatang
buas. Tingginya selutut, di bagian pantatnya ada sedikit belang berwarna
kuning. Buntutnya nggak panjang dan ukurannya terlalu besar untuk seekor anjing
seperti yang pertama kukira.
Jarak antara kami dan binatang buas itu mungkin hanya
sekitar 50 meter. Nggak tau, aku nggak mengukurnya, yang jelas cukup dekat
untuk dia berbalik arah, lari dan menerkam kami. Untungnya begitu lampu motor kami
menyorotinya, dia itu kabur ke dalam hutan dengan jalan yang merangkak.
“Apa itu Sal?” kataku kepada anak kelas enam SD.
Sebenarnya aku sudah tahu jawabannya, tetapi kuanggap ini hanyalah sebagai
afirmasi.
“Beruang, kak,” sebutnya seperti biasa aja walaupun aku
yakin dia juga takut. Nama hewan yang disebutnya persis seperti yang ada di
kepalaku.
Di sini aku sebagai seseorang yang paling tua sudah
seharusnya bersikap lebih tenang dan menghadapinya dengan kepala dingin. Kalau aku
panik, anak yang kubonceng ini pasti akan lebih panik lagi. Aku putar balik
motor yang kukendarai dengan secepat mungkin.
“Kita kembali ke posko tempat kita tadi belajar aja ya Sal,”
kataku dengan maksud supaya kami lebih aman. Kuminta Faisal untuk mengabari
orang tuanya di rumah, tetapi dia nggak hafal nomor teleponnya. Sebenarnya sedikit
lagi kami sampai di rumahnya, sudah terlihat bohlam kuning redup di rumah yang
nggak memiliki tetangga. Cuman nggak jadi karena terlalu berisiko.
“Oh, atau antarkan saya ke rumah guru saya saja kak, biasa
sudah menginap di situ,” katanya meyakinkan. Aku percaya.
Sepanjang perjalanan kami mencoba mengobrol supaya lebih relaks.
Dalam bahasa Bugis dia berbicara kepadaku, sedikit-sedikit aku mengerti
maksudnya. Kira kira begini. “Baru sekali juga aku melihat beruang
begitu,” katanya.
Rumah gurunya terletak di gang yang sama, saat sampai di
depan rumah kuketuk pintu dan meminta tolong untuk memperbolehkan Faisal tidur
di rumahnya, kubilang dia baru saja belajar di posko KKN Unmul. Beliau bilang
iya, katanya Faisal memang sering menginap di rumahnya. Aku dipersilahkan masuk
terlebih dulu, tetapi kutolak karena sudah cukup malam.
Sampai di rumah, aku ceritakan kejadian tadi ke Wawal. Jelas
saja dia kaget karena sejak di Samarinda, Desa Teluk Pandan lebih dikenal
sebagai daerah yang sering didatangi buaya. Lalu Wawal cerita, kalau bisa saja
itu adalah manusia yang menyerupai binatang yang biasa disebut Parakang dalam
legenda Bugis (kebetulan Wawal bersuku Bugis Bone). Aku percaya nggak percaya
juga, kuhormati cerita rakyat itu meskipun nggak mau berspekulasi aneh-aneh.
Komentar
Posting Komentar
Kalau sudah dibaca langsung kasih komentar ya. Biar blog ini keliatan banyak yang baca.