Gimana kalau kakak pulang? – KKN Hari ke 35
Jumat, 4 Agustus 2017
“Gimana kalau kakak pulang?” kata Aril yang berbicara kepada Aji.
Mendengar pertanyaan itu, aku yang tadinya berbaring di karpet ruang tamu
langsung duduk. Topik yang sedang mereka bicarakan adalah pencak silat. Dari
awal aku memang sudah mengikuti percakapan mereka, sambil berbaring santai
karena cukup lelah seharian beraktivitas. Kuanggap ini bukan pelanggaran karena waktu sudah lewat dari pukul sembilan
malam, artinya rumah
belajar hari ini sudah selesai.
“Iya, nanti kalau ada waktu kakak ke sini lagi ya,”
jawab Aji.
“Memangnya kakak mau ke mana habis ini?”
“Ya balik ke Samarinda buat kuliah lagi.”
“Terus?”
“Mungkin habis itu balik ke Jawa,” katanya. Aji memang orang Banyuwangi,
baru beberapa tahun ini dia ke Kalimantan untuk berkuliah dan tinggal di rumah
keluarga.
Berdasarkan jadwal pelajaran buatan kami sendiri, hari ini
waktunya ekstrakurikuler di mana anak-anak bisa belajar apa saja di luar
akademis selama kami bisa mengajarinya. Yang paling banyak peminatnya adalah
pencak silat, anak-anak pasti jadi lebih antusias meskipun di hari biasa baru bersemangat
kalau ada PR aja.
Dari awal rumah belajar dibuka, Aril memang sudah minta
diajarkan pencak silat dan otomotif. Untungnya kelompok ini memiliki Aji yang
dari kelas 5 SD sudah belajar pencak silat dan sekarang sudah di sabuk merah
balik dua (level nomor dua tertinggi). Untuk ekstrakurikuler otomotif nggak
bisa terlaksana karena nggak ada yang bisa. Sebenarnya aku dan Wawal sudah
cukup sering mewawancarai teknisi bengkel buat berita otomotif Kaltim Post,
tapi karena setelah itu kami melupakan informasinya, jadi lebih baik ditiadakan
saja daripada motor orang sekitar posko rusak semua.
Aril, Rahmat, Nabil dan Andin begitu semangat mempelajari
pencak silat. Rata-rata dari mereka masih berusia SD atau baru masuk SMP.
Beberapa minggu lalu Aji sudah mengajarkan teknik dasar pertama dan feat (aku
sendiri nggak terlalu ngerti bagaimana maksudnya). Kata Aril, dia sudah lama
mau belajar bela diri, tapi tempat belajarnya nggak ada yang dekat. Kondisi ini
beda sekali kalau dibandingkan aku dulu saat masih SD yang menolak ikut pencak
silat di depan kompleks walaupun sudah dipaksa Papa.
Malam ini mereka mempelajari teknik tendangan sabit, ini
adalah bulan terakhir kami dalam masa pengabdian sebagai mahasiswa KKN. Aku
nggak tahu setelah kami selesai KKN Aril dan teman-teman akan belajar pencak silat
sama siapa. Semoga ada guru baru atau setidaknya ada kuota internet murah
supaya belajarnya bisa lewat YouTube.
Komentar
Posting Komentar
Kalau sudah dibaca langsung kasih komentar ya. Biar blog ini keliatan banyak yang baca.