Mutar Hutan – KKN Hari ke 38
Minggu, 6 Agustus
2017
Dari Desa Teluk Pandan, kami mengendarai motor menuju Desa
Sangkima (untuk ke sana harus melewati Desa Kandolo dulu). Holiday minggu ini ingin kami habiskan di Taman Nasional
Kutai, atau lebih spesifiknya Sangkima Kutai National Park. Perjalanan ini
dihadiri oleh seluruh anak laki-laki kecuali Rizky yang masih berada di Bontang
dan Dery yang berada di Samarinda untuk suatu urusan.
Sampai di sana kami membeli tiket seharga Rp 7.500 untuk
satu orang, kami bayar sendiri-sendiri dan ditulisnya sebagai wisatawan
nusantara. Di beberapa kolom sebelumnya sudah terlebih dulu tertulis nama-nama
dengan kategori wisatawan mancanegara. Tempat ini sudah go international.
“Di sini jalannya empat kilo,” kata beliau sambil menunjukkan brosur
Sangkima Kutai National Park.
Kuperhatikan di brosur itu tergambar peta jalan
beserta keterangan legenda peta berbahasa inggris seperti trail way, track trail, board bridge dan lain-lain. Di bawah
peta tertulis beberapa larangan seperti cutting
down trees is prohobited, hunting
animals are prohibited beserta beberapa peraturan yang harus dipatuhi.
“Kalian belum pernah ke sini sebelumnya ya?”
tanya ibu penjaga loket. Kami jawab belum. Entah kenapa beliau bertanya seperti
itu, tetapi kemungkinan besar beliau meragukan kami karena datang dengan jaket
dingin padahal cuaca sedang panas pukul tiga sore.
Saat di posko aku mengira, Taman Nasional Kutai ini nggak beda
jauh dengan Taman Cerdas di Samarinda yang ada patung Minion dan Doraemon,
terus ada penjual mihun kerupuk di pinggir jalannya. Ternyata taman yang
dimaksud menawarkan perjalanan mengelilingi sebagian area hutan kutai yang
nggak tahu isinya ada apa aja. Kalau tahu dari awal, lebih baik aku memakai
kaus lengan panjang saja daripada baju kemeja.
“Kalau sudah jam segini, bisa nggak cukup kalau jalan kaki,
tapi bisa motong jalan lewat sini.” Ditunjuknya jalan pintas dari area Jembatan
Seling menuju area Rumah Pohon sehingga jaraknya lebih dekat sekitar satu kilo
meter daripada mengikuti trek di peta. Jalur pintas yang ditunjuk ibu itu belum
tertulis di peta, kalau nggak salah karena belum diresmikan.
Selanjutnya beliau melakukan pengarahan singkat tentang
Sangkima Kutai National Park, katanya jarak ke pohon ulin terbesar di dunia
sekitar 800 meter, ikuti seluruh peraturan yang tercetak di brosur, dan
Sebaiknya kami kembali sebelum matahari terbenam karena akan gelap. Ya iyalah.
Kami mengawali perjalanan dengan kaki yang berpijak di atas
jalan kayu. Kayunya cukup licin karena banyak lumut, jadi harus berhati-hati
karena nggak ada yang pakai sandal Eiger. Kanan kiri kami terdapat pohon-pohon
rindang yang beberapa di antaranya diberi plang nama sesuai nama jenis pohon
dan deskripsi singkat untuk menambah pengetahuan.
Beberapa meter meninggalkan titik keberangkatan, ada sebuah
papan yang nggak biasa. Di samping kanannya tertulis BAHAYA! dan di sebelah
kirinya terdapat simbol buaya yang mirip sekali dengan logo celana dalam merek Crocodile.
Dengan peringatan itu, mungkin saja di depan sana ada
binatang-binatang buas pemakan manusia. Agak ngeri juga mengingat kami berlima
berangkat tanpa tour guide.
Nggak lama setelah berjalan, bertemulah kami dengan pohon
ulin tertua sedunia. Menurut deskripsinya, pohon ini sudah lahir sejak 1.500
tahun yang lalu, kalau mau memeluknya butuh setidaknya delapan rentangan tangan
orang dewasa, itu juga tetap nggak bisa karena ada barisan semut hitam besar
yang sibuk naik turun pohon. Menurut Aji, seseorang bisa mati kalau seluruh
badannya dimasuki ribuan semut yang ingin hidup damai itu.
Selanjutnya medan menjadi semakin berat, hingga finish nanti ini sepertinya kami hanya
dituntun sebuah tali berwarna oranye yang dibentangkan antar pohon atau diikat
dengan tali. Semakin seru sepertinya, ini adalah kali kedua aku melintasi hutan
setelah terakhir kali dilakukan sekitar tiga tahun yang lalu pada perpisahan
jurusan RPL saat SMK dulu (buat yang mau baca silakan klik ini).
Kami sampai di wahana rumah pohon yang cukup tinggi. Aku
nggak tahu pohon jenis apa, yang pasti seseorang bisa meninggal kalau jatuh
dari atas. Untuk sampai atas kami harus menaiki tangga kayu licin karena lembap.
Jadi yang naik ke atas hanya Mardi dan Aji saja. Sementara aku, Wawal dan Rendy
menunggu di bawah. Setelah mereka turun, katanya tangganya cukup bergoyang di
bagian sambungan kayunya.
Medan yang akan dilewati semakin sulit saja, kami mengikuti
tali oranye sesuai panduan tetapi daun-daun yang menutupi jalan memberikan
tantangan sendiri. Aku sebelumnya sudah melepas kemejaku kembali memakainya
karena kadang-kadang ada lebah, atau hewan-hewan baru yang aku nggak tahu
namanya.
![]() |
Dari namanya kayaknya bagus juga buat ke sini, tapi jalannya dipalang pakai pohon, kami takut ini jebakan. |
Setelah terus berjalan dan matahari mulai turun, kami akhirnya
berhasil sampai di titik pertama. Perjalanan ini nggak terlalu melelahkan
karena mungkin gara-gara sudah terbiasa bermain bola setiap hari. Kami juga
nggak ketamu binatang buas, jadi perjalanan lancar saja kecuali sepatu dan
celana panjang yang terkena lumpur. Tapi nggak papa, lumpur bisa dicuci,
pengalaman tidak. Ciebijak.
Komentar
Posting Komentar
Kalau sudah dibaca langsung kasih komentar ya. Biar blog ini keliatan banyak yang baca.