Senin Sepulang Kerja
Senin, 18 September 2017
Sepulang siaran Senin sore aku
mampir ke Ewien Burger, sebuah kedai burger kaki lima yang menurutku terenak di
kota. Mas penjual baru mulai menyusun bahan baku dan menyalakan kompor karena
toko baru buka, kuminta mas tersebut untuk membuatkan satu porsi crispy burger
untukku sendiri. Sambil menunggu pesanan, aku di atas motor dan membaca
beberapa berita dari media online lewat aplikasi Feedly. Di pinggir jalan ini
lalu lintas sedang ramai dengan motor-motor yang pemiliknya baru pulang kerja.
“Mas, ada aplikasi Go-Jek nggak?”
kata seorang mas-mas pejalan kaki yang beberapa detik lalu dari arah simpang
jalan Cendana.
“Oh, nggak pakai mas,”
kujawab sekenanya sambil mematikan layar hp. Aku bohong, karena sampai sekarang
aplikasi Go-Jek masih terpasang walaupun nggak pernah dipakai.
“Memangnya ada apa ya mas?”
kutanya mas tersebut dengan sedikit awas, menggenggam Samsung-ku.
“Ini, mau ke Juanda mas. Dari tadi tunggu
taksi nggak ada yang nyambut.” Taksi adalah sebutan untuk angkot di
Samarinda. “Taksi buat ke Juanda warna apa ya?” tanya dia.
“Wana hijau, mas. Taksi A. Biasanya banyak
kok yang lewat sini.”
“Oh, tunggu di sini aja kali ya,”
kata mas itu, posisinya sekarang berada di sampingku.
Aku menjawab iya. Lalu kembali
membaca berita karena burger pesananku masih di panggang mas penjual.
Dua menit, dia masih belum dapat
taksi. Waktu sudah hampir setengah enam, seharusnya nggak perlu menunggu lama taksi
akan datang, tapi sampai sekarang belum ada. Lama-lama aku nggak enak juga
sudah berbohong dan sempat curiga bakal terjadi apa-apa. Beberapa saat kemudian
ada taksi hijau lewat tapi lambaian tangan masnya nggak diherani karena supir
nggak ngeliat.
Burger selesai dibuat, aku
memberi uang dan menerima kembalian. Mas itu masih menunggu taksi. Aku kemudian
melihat abang-abang berseragam Go-Jek berhenti di outlet Martabak Royal 8 yang
letaknya hanya beberapa langkah dari tempat kami buat istirahat. Kupikir ini
waktu tepat untuk memberi bantuan.
“Itu mas, ada Go-Jek. Coba aja tanya,
siapa tahu mau ngantar (tanpa perlu lewat aplikasi),” kataku.
Dia
mengerti dan langsung mendatangi abang Go-Jek. Kuperhatikan mereka berbincang
singkat lalu mereka berdua boncengan. Mas pejalan kaki bisa diantar naik motor,
abang Go-Jek dapat penumpang.
“Makasih ya, Mas,” kata mas itu
melempar senyum tanda pertemanan. Aku senang walaupun masih ada rasa bersalah
nggak dari awal memesankan Go-Jek untuknya.
Sepanjang jalan pulang aku
berpikir, sebenarnya bisa saja aku membantunya dari awal. Mungkin rasa empatiku
buat orang asing agaknya luntur semenjak peristiwa di kelas 9 SMP dulu. Saat
itu adalah hari Sabtu, aku berseragam pramuka bersama Wawal dan Nobel sedang
duduk di pinggir taman dekat jembatan Mahakam (sekarang sudah di bongkar untuk
dibuat jembatan baru).
Saat itu, ada seorang mas-mas
yang mau pinjam hp dengan alasan ingin menelepon teman. Katanya, buat mencari
alamat rumah teman. Karena waktu itu Google Maps belum ada ditambah aku membawa
hp dan punya pulsa, kupinjamkan Nokia tipe 6300 milikku, lalu kemudian hp-ku
itu dibawa kabur. Sebagai informasi, hp itu adalah pemberian orang tua sebagai
hadiah sunat beberapa tahun sebelumnya. Mungkin itu juga alasan kenapa saat itu
aku begitu sakit hati ketika Nokia 6300 itu dibawa kabur penipu.
Kalau di ingat lagi sekarang, aku
bingung apakah saat itu kami bertiga adalah orang baik atau orang yang gampang
ditipu. Tapi sekarang aku percaya nggak semua orang adalah penipu. Aku cuman
ingin punya kemampuan mendeteksi mana orang yang benar-benar meminta bantuan
dan mana yang penipu.
Kuh, google maps udah ada waktu kamu masih kelas 9. Cuman mungkin kamunya aja waktu itu yg belum tahu tentang google maps :)))
BalasHapusGood story 😀
BalasHapushttp://findaputrablog.blogspot.co.id/2017/10/salah-jurusan-hanya-3-pilihan-yang-bisa.html?m=1#more
http://www.sbobet-casino.org/
BalasHapushttp://livechats128.com/
http://i128.org/