Dicabutnya Gigi
Di sistem BPJS, kalau ada
diagnosis berat dan nggak mampu dikerjakan klinik fase pertama, pengobatan akan
dirujuk ke fase selanjutnya. Dari klinik Islamic Center, aku diminta memilih
antara rumah sakit Dirgahayu atau salah satu rumah sakit yang sama besar.
“Di Dirgahayu bagus,
jangan lihat bangunannya, tapi lihat dokternya.”
Betul juga.
Jangan harap cepat
selesai kalau berobat di fase tingkat dua. Begitu datang sekitar pukul 10
antrean berada di nomor 100, sementara aku berada di 342. Berdasarkan informasi
dari petugas pelayanan, poli dibuka mulai pukul 7 pagi. Dengan perhitungan
sederhana bisa disimpulkan kalau butuh tiga jam untuk menyelesaikan 100.
Artinya, butuh sekitar 6 jam sampai nomor urutku disebut. Pergilah aku agar tak
cepat bosan.
Setelah makan mie pedas
mampus bareng Adeya, aku datang kembali pukul tiga, bayar parkir lagi. Kami diminta
menunggu satu jam lagi sebelum dipanggil. Tapi begitu aku menyerahkan nomor urut
di loket, poli gigi sudah tutup. Katanya pemberitahuan itu sudah diumumkan di pengeras
suara beberapa jam lalu. Lha, jadi buat apa nomor antrean kalau begitu.
Setelah sedikit protes,
permintaanku supaya besok dapat akses VIP dikabulkan. Tinggal mengantre di
dokter gigi tanpa menunggu bersama ratusan pasien lainnya.
Besoknya, pagi-pagi aku ke
RS Dirgahayu dan antrean di poli gigi masih sedikit. Dari papan elektronik menginformasikan
kalau mereka sudah melayani 7 orang, dan aku berada di urutan 14. Kutunggu
sambil main laptop sampai akhirnya namaku dipanggil.
Walau sudah menunggu dari
kemarin, aku cukup puas karena dokternya baik. Sebelum mengambil tindakan aku
diminta rontgen dulu di ruang radiologi. Kuikuti petunjuk dari petugas rontgen
yang ternyata tetangga sendiri. Balik dari sana, aku kembali berkonsultasi ke Ibu
Dokter sebelum akhirnya diputuskan kalau gigi geraham kanan harus dicabut.
Sedih sekali rasanya.
“Karena syaraf giginya
sudah mati. Liat ini, sudah terbelah dua. Jadi cepat atau lambat harus dicabut,
tapi sesiapnya kamu saja,” kata dokter baik itu.
Dan sembilan jam
kemudian, aku sudah bisa menulis namun masih terbata-bata kalau berbicara. Walaupun
jam per jam kulewati dengan sangat mengerikan karena berjuang melawan pendarahan,
nyeri, nyeri banget waktu obat biusnya mengundurkan diri, sampai obat yang baru
selesai antre setelah pendarahan selesai. Makan siang dan malam itu dirangkap
dengan semangkuk bubur ayam Samarinda Seberang.
Syukurnya, asal sabar
menunggu, semuanya gratis. Nggak usah banyak protes karena kalau mau lebih
cepat, ya cepat-cepat jadi orang kaya.
Komentar
Posting Komentar
Kalau sudah dibaca langsung kasih komentar ya. Biar blog ini keliatan banyak yang baca.