Membeli Brand
Selama ini aku agak
skeptis dengan orang-orang yang mengeluarkan uang lebih banyak demi merek. Padahal
kualitasnya mirip-mirip. Di lingkaran pertemananku, Disa, Onel dan Wawal rela
membayar lebih demi sepasang sepatu. Kebetulan mereka bertiga punya merek andalan
yang sama: Converse.
Aku nggak ngerti dari
mana datangnya kepuasan saat membeli Converse. Kesetanan kalau ada diskon. Istilahnya,
nggak ada uang pun mereka masih mengusahakannya. Padahal satu dengan yang lainnya
hampir nggak ada beda.
“Beda Kuh, yang ini ada
talinya di belakang,” kata Onel menjelaskan sepatu All Star edisi bertali.
Kecintaan terhadap brand
baru aku rasakan di produk teknologi dari Google dan Microsoft. Itu pun hampir
semuanya gratis kecuali lisensi Windows dan Office yang cuman sekali bayar. Sisanya,
brand apapun yang penting sesuai kantong dan nyaman dipakai.
Nah, baru kali ini aku rela
membayar lebih karena brand, itu juga sebagian ditraktir Adeya dalam rangka
anniversary ke dua. Namanya New Balance. Merek olahraga yang meski tak sebesar Nike
dan Adidas, tapi kuanggap begitu mengesankan sejak mereka masuk ke dunia
apparel jersey tim sepak bola. Nilai brand-nya di mataku terbangun baik.
Sampai di rumah,
tiba-tiba saja aku senang. Padahal material yang digunakan mirip dengan merek sepatu
yang biasa kubeli dengan alasan harga lebih murah dan ukurannya ada. Punya
sepatu New Balance ini, rasanya ingin kusayang-sayang, beda dengan sepatu lain
yang nggak pernah kucuci dari pertama kali beli sampai busuk. Sepertinya, aku cuma
mau pakai sepatu ini kalau ada momen tertentu biar nggak cepat lusuh.
Begini ya rasanya.
Komentar
Posting Komentar
Kalau sudah dibaca langsung kasih komentar ya. Biar blog ini keliatan banyak yang baca.