Berbagi Ayam – KKN Hari ke 23
Minggu, 23 Juli 2017
Aku terbangun pukul sembilan pagi, lebih lama dibandingkan
hari-hari biasa. Rasa nyenyak tidur tadi malam terjadi karena dua alasan.
Pertama karena aku mendapat jatah tidur di ranjang, dan kedua karena hadirnya
kipas angin di kamar. Sebuah kipas angin, yang belum meledak seperti Miyako di
postinganku sebelumnya.
Jadi sejak kemarin siang sebuah kipas angin berwarna putih
yang sudah menguning karena usia milik kamar perempuan dipinjamkan kepada kami.
Mereka nggak memakainya, karena weekend kali ini menjadi giliran anak perempuan
ke Samarinda untuk mengurus KRS.
Andin, salah satu murid rumah belajar yang rajin ke posko bilang
kalau kami seluruh anak-anak KKN diajak ke kandang ayam. Tapi belakangan aku sadar kalau maksud Andin adalah makan ayam
di rumah yang punya kandang ayam. Katanya, kami sudah ditunggu tetangga sebelah
untuk berangkat bersama. Aku dan Wawal kemudian mandi dengan tempo sesingkat-singkatnya,
bahkan melewatkan sesi buang air besar.
Selesai mandi, kami bersiap untuk berangkat bertiga bersama
Dery yang sudah mandi sejak pagi. Yamini dan Mira, dua perempuan yang dijadwalkan
pulang pagi ini terpaksa menunda keberangkatan dan tinggal di rumah terlebih
dulu karena di posko hanya tersedia dua motor.
“Kak Mira sama Kak Yamini ikut aja, naik mobil di depan,”
kata Andin begitu kami mau berangkat. Kedua perempuan itu
senang dan mandi buru-buru menurut mereka.
Kami sampai ke rumah hajatan setelah menuruni gunung yang
sudah disemen. Jaraknya nggak terlalu jauh dari posko, sekitar dua kilometer,
dekat Telaga Bening. Bangunan rumahnya terbuat dari beton yang belum di cat.
Ukurannya juga nggak terlalu besar. Kalau di perkotaan, rumah ini masuk dalam
kategori sederhana.
Akibat penyesuaian ruangan, sesi makan dibagi dua. Giliran
pertama dipersilakan untuk laki-laki. Aku, Wawal dan Dery masuk ke dalam ruang
tamu.
Menu yang dihidangkan semuanya terbuat dari olahan ayam berbagai
varian. Ada ayam asam manis, ayam opor dan ayam kari. Sementara hati ayam
dibuat dalam bentuk sambal goreng. Berasnya adalah beras Teluk Pandan, aku tahu
benar karena nasi yang disajikan selalu sama tiap rumah. Pak Samad, kepala adat
desa ini mempersilakan semuanya untuk makan. Katanya makan di sini bebas karena
semuanya anggota (semacam bubuhan kalau dalam bahasa Banjar), makanlah sampai
habis dan tambah lagi bila perlu sampai perut terasa kenyang.
Bapak-bapak yang berada di ruangan itu lantas berbicara
sambil makan. Obrolan mereka berbahasa Bugis, apa yang dibicarakan aku juga
nggak tau karena aku dibesarkan di lingkungan berbahasa Indonesia dengan logat
Banjar. Jadi selama berada di ruangan ini aku hanya merespons berdasarkan mimik
wajah saja. Kalau dia tersenyum artinya sedang bercanda, jadi aku tertawa.
Begitu juga kalau ekspresinya sedang mempersilahkan, selalu aku jawab dengan
kata “iyek” atau “iyek, sudah om”.
Satu per satu dari kami pergi ke luar, menandakan kalau
sekarang giliran perempuan mengambil jatah makannya. Di luar, aku duduk di
kursi kayu berhadapan dengan pintu masuk. Di samping kiriku adalah ayah Andin,
samping kananku Wawal dan sebelahnya ada Dery.
![]() |
Bukan, ini bukan Aku Wawal dan Dery. Mereka adalah warga sekitar yang ikut syukuran hari ini. |
“Di mana kandang ayamnya ini om?” tanyaku karena sejauh ini belum
menemukan kandang ayam atau bau sejenis mobil unggas.
“Ada di samping situ, di belakang rumah juga ada,”
kata ayah Andin, lalu dia melanjutkan. “Di sini kandang ayamnya ada tujuh, satu
kandang muat 2.000 sampai 3.000 ekor.”
Menurutnya, meskipun ayam sangat menguntungkan, tetapi juga
perlu banyak modal. Satu karung makanan ayam saja sekitar Rp 60.000 di mana setiap
kali makan menghabiskan 20 karung. Supaya tumbuh sehat, ayam juga perlu diberi makan dua kali
sehari. Jadi kalau dihitung-hitung, dalam satu hari pemilik peternakan harus
mengeluarkan uang sekitar Rp 2,4 juta per hari atau Rp 72 juta dalam satu
bulan, itu juga belum termasuk vaksin dan obat-obatan kalau ayamnya sakit.
Tetapi hasilnya juga menggiurkan. Kata Ayah Andin, ayam-ayam
yang diberi makan setiap hari itu sudah bisa dipanen dalam 30 hari. Satu kilo
ayam dihargai sekitar Rp 13.000, biasanya bobot seekor ayam sekitar dua kilo. Tinggal
kalikan saja sendiri kalau mau menghitung pendapatannya.
Dibandingkan memperbesar rumah, aku rasa pemilik peternakan
ini lebih bahagia saat mentraktir warga sekitarnya dengan mengajak syukuran
setiap bulan. Memberi. Sederhana tetapi membuat bahagia.
Komentar
Posting Komentar
Kalau sudah dibaca langsung kasih komentar ya. Biar blog ini keliatan banyak yang baca.