Liburan di Kenyamukan – KKN Hari ke 8
Sabtu, 8 Juli 2017
Hari ini, aku nggak butuh Derawan, nggak butuh Raja Ampat.
Aku hanya butuh bersyukur.
Kalau dunia nggak berjalan sesuai rencana,mungkin saja momen
seindah ini nggak datang dua kali. Mungkin saja hari-hari ke depan akan berat. Tapi
setidaknya dengan liburan ini, aku merasakan semangat kerja sama dan merasakan
bagusnya semesta.
---
Perjalanan dimulai pukul 2 siang. Mba Nur, tanteku yang
tinggal di Sangatta menelepon tadi pagi dan mengajak mampir ke rumahnya. Kami
langsung setuju karena hari Sabtu adalah hari tanpa proker bagi kelompok Desa Teluk
Pandan. Kali ini, kami berencana mampir ke Pantai Teluk Lombok setelah
bersalaman dengan Mba Nur.
Waktu tempuh yang kami kira hanya 30 menit, molor menjadi
satu jam lebih. Perjalanan Desa Teluk Pandan - Kota Sangatta mengharuskan
pengendaranya lebih sering menekan rem cukup dalam. Jalanannya kadang-kadang
bergelombang, belum lagi lubang yang hadir hampir setiap 100 meter (bahkan ada
saat turunan gunung juga). Dari pengamatanku, pemerintah sebenarnya sudah tahu
dengan kondisi jalanan ini. Walaupun nggak ditambal atau diaspal ulang, sudah
ada spanduk “hati-hati jalanan berlubang” atau “100 meter lagi jalanan berlubang”
di samping poros jalan. Ya mungkin pemerintah lagi nggak punya uang, jadi bikin
spanduknya aja dulu.
Setelah sampai Sangatta, kami dituntun oleh Om Maulidin,
suaminya Mba Nur, untuk menuju rumahnya. Di sana sudah disiapkan berbagai
makanan enak. Ada ayam goreng, cumi goreng, sambal goreng kentang, sayur bening
serta makanan penutup (atau bisa juga pembuka) berupa pisang dan ubi. Selama
bulan Juli, menu makanan seperti ini baru pertama kali karena selama di posko
kami kebanyakan makan ikan bawis, tahu atau tempe. “Kayak gini baru
makanan holiday,” kata Rendy.
Takut kesorean, kami pamit pulang beberapa menit setelah makan.
Secara tak terduga Om Maulidin memberikan satu dus Indomie, satu karung beras
dan sirup rasa jeruk. Mba Nur juga kembali menggoreng ayam, lalu membungkusnya
bersama sambal goreng hati dan sambal. Buat persediaan di posko, katanya. Kami pun
senang. Persediaan mi instan menjadi banyak dan mendapatkan tambahan makan enak
sampai besok pagi.
Pantai Teluk Lombok masih berjarak satu jam lagi dari rumah
Mba Nur, sementara waktu sudah menunjukkan pukul empat, itu juga belum ditambah
dengan jalanan rusak seperti bermain Pepsiman di PS 1. Jadi kami mengubah itinerary ke Pantai Kenyamukan yang
berjarak sekitar setengah jam.
Sudah lama aku nggak datang ke pantai. Melihat garis tepi
antara langit dan air, ditemani angin yang membuat rambut terbang-terbang. Pantai
ini juga dilengkapi dengan anak-anak yang lagi bermain ayunan di ranting pohon
dan menceburkan diri setelahnya. Pak lek penjual pentol bakar juga menjajakan
dagangannya dengan harga Rp 2.000 untuk satu tusuk, walaupun kalau dinaikkan
menjadi Rp.4.000 juga tetap banyak yang beli.
Rizky mengajak ke dermaga agar lebih dekat dengan ujung laut.
Sebenarnya dia juga nggak tahu lewat mana supaya bisa ke sana, sampai kami
bertemu mas-mas dari arah berlawanan berbelok ke kanan. Dia membawa pancingan,
cukup masuk akal kalau dia akan ke dermaga untuk memancing. Di belokan itu, sudah
ada traktor, backhoe dan kayu yang
sengaja dibentangkan sebagai tanda nggak boleh masuk. Tetapi untungnya ada
celah kecil yang masih bisa dilewati motor, jadi kami mengartikannya sebagai daerah
yang bisa dilewati motor, tapi tidak bisa dilewati mobil.
Kami berenam bahu-membahu melewati rintangan jalan yang
berlumpur oranye. Sekitar 15 menit dihabiskan untuk melawannya hingga berhasil,
walaupun membuat ban yang semula hitam menjadi kecokelatan. Kami berhenti
sejenak ke tumpukan batu yang disusun dan diberi jaring sebagai tembok penahan abrasi.
Kulihat lebih dekat, ratusan terumbu karang kering sudah terjebak di antara
tumpukan batu itu.
Perjalanan menuju dermaga tersisa selangkah lagi, kami
mengangkat motor ke semacam trotoar yang terbuat dari semen, lalu berjalan hati-hati sebelum
bertemu jalan yang sudah dicor. Di sana ternyata banyak anak-anak seumuran SMP
sedang duduk menghadap laut, ada juga yang berpegangan tangan di atas motor.
Kata Wawal, menjadi anak alay di kota ini agak sulit juga, karena harus
melewati serangkaian perjuangan.
Sampai di sana, kami mengambil beberapa foto.
Mendokumentasikan liburan ini dan menyimpannya di memori smartphone, selanjutnya kami nikmati laut untuk menyimpannya di
memori otak. Wawal menyendiri, lalu aku melakukan hal serupa di tempat yang lebih jauh meninggalkan
bubuhannya. Jika punya tempat ini, kamu nggak perlu lagi mengunduh aplikasi
Calm di Play Store dan memutar suara alam. Lebih dari suara alam, di sini pengunjung
juga bisa, menghirup oksigen segar dan melihat bulan mulai menyala.
Kuputar lagu Begitu Indah yang dicover oleh TheOvertunes
dalam album #Y2Koustic. Aku ingin, lagu ini menjadi soundtrack perjalanan
selama KKN, agar ketika kangen dengan suasananya nanti, aku bisa memanggil
kembali kenangannya melalui lagu. Selanjutnya, aku mendengar lagu Mercusuar dari
Kunto Aji meskipun baru setengah aku sudah dipanggil Mardi untuk segera pamit
dari tempat indah ini.
Ini sama kayak derawan, ada pohon, ada matahari juga, tapi bedannya nggak ada pasir putihnya.
- Rendy.
Pulangnya kami kembali bekerja sama menaklukkan lumpur,
namun dengan kondisi jalan yang gelap dan hanya ditemani lampu kendaraan.
Motorku dan Wawal sempat masuk ke dalam lumpur cukup dalam, sebelum Mardi membantu
mengeluarkannya. Sepulangnya dari liburan yang indah, kami menuju pencucian
terlebih dulu karena bobot motor menjadi lebih berat karena lumpur. Nilai salah
satu mata kuliah juga sudah bisa dilihat di portal mahasiswa, tetapi kuputuskan
untuk melihatnya nanti karena takut menghancurkan mood yang sedang bagus ini.
Komentar
Posting Komentar
Kalau sudah dibaca langsung kasih komentar ya. Biar blog ini keliatan banyak yang baca.