Percakapan di Sebuah Warung – KKN hari ke 7
Jum’at, 7 Juli 2017
Setelah jumatan, aku dan Wawal menjadi delegasi kelompok dua
untuk mencari lokasi RT 11. Di Desa Teluk Pandan, pengurutan wilayah hanya
sampai RT 8, lalu RT 9 dan seterusnya di acak, seperti teka-teki. Setelah satu pekan program
kerja (proker) pemetaan sosial hanya RT 11 yang belum ditemukan. Katanya,
tempatnya terpencil dan di dalam hutan.
Bensin motor sisa sedikit jadi kami pergi ke Pertamina yang
terletak di RT 7, tapi ternyata pom bensinnya tutup dengan keterangan bensin
habis. Selama tujuh hari di sini, pom bensin Desa Teluk Pandan memang nggak
pernah buka. Mungkin karena truk pengantar bensinnya kehabisan bensin ketika
menuju ke sini, atau mungkin pegawainya masih mudik. Persis di depan pom,
terdapat warung kopi sedang buka lapak. “Pop Mie lagi bisa ini Wal!”
Tentu saja Wawal setuju, seperti ajakanku yang pertama. Kami langsung menyeberang jalan dan memesan satu bungkus mie Sedaap
soto dan mie Sedaap bakso spesial, lengkap dengan telur rebusnya. Selanjutnya
aku mengambil snack Gocheng dan Wawal mengambil Jordan Bakery rasa nanas. Belum
usaha mencari RT, kami sudah beristirahat.
Meja warung ini diposisikan satu arah dengan rak makanan. Pembeli
bisa memutuskan ingin menghadap ke arah jalan raya, atau barisan makanan yang tersusun di rak kaca. Aku memilih
tempat yang berhadapan dengan barisan makanan, untuk memandangi minuman dingin
di kulkas Coca-Cola, rapinya susunan rokok di rak, dan kopi kemasan sachet yang
membentang sepanjang langit-langit warung, aku memerhatikannya sambil sesekali
menengok ke arah jalan raya sepi. Nggak tahu alasannya kenapa, tapis suasana warung
ini menenangkan.
Mie disajikan oleh bapak pemilik warung dan itu terlihat
menggiurkan. Kami meminta dua gelas kosong untuk menampung air gratis yang
tersedia di meja. Padahal di kulkas Coca-Cola ada beragam merek minuman, tapi
aku sengaja nggak mengambil minuman berasa, demi menjiwai budaya makan di
warung kopi.
Baru hitungan menit mie pesanan kami datang, kulihat satu
motor BeAT putih dengan kecepatan tinggi berbelok ke Pertamina (tetapi nggak
jadi, mungkin hari ini ada ratusan motor yang bernasib sama). Lalu lelaki
bermasker itu membunyikan klakson dan datang menghampiri aku dan Wawal. Dari cara
duduknya, seperti nggak asing. Saat dia buka maskernya, ternyata Pampaw. “Weh,
ngapain kamu di sini?” katanya.
Pampaw adalah temanku semasa SMK dulu, (kalau mau tahu cerita semasa SMK, kamu bisa baca postingan blog ini
sekitar tahun 2012-2014). Sekarang dia adalah mahasiswa di Fakultas
Perikanan dan KKN di Desa Sangkima, katanya sekitar satu jam kalau dihitung dari
Desa Teluk Pandan. Kami sempat bertemu saat pembekalan KKN wilayah Kabupaten
Kutai Timur, jadi adanya Pampaw di desa ini nggak terlalu mengejutkan. “Ini
aku mau pulang dulu ke Samarinda, mau ambil kipas angin, sama buku pedoman KKN ku
ketinggalan,” kata Pampaw santai.
Pampaw kemudian bercerita tentang posko kelompoknya, dia
dipinjamkan mes Pertamina yang di setiap kamarnya dilengkapi AC, spring bed dan
kloset duduk. Mesnya berlokasi di sekitar pantai, otomatis membuat cuaca lebih
sering panas atau setidaknya kalau hujan sebentar saja, membuat kelompoknya
lebih mudah dalam urusan mencuci pakaian. Selama satu minggu ini kegiatannya
juga cukup santai, yang penting kalau dipanggil kepala desa buat ngerjakan
tugas langsung go. “Nilai
KKN aja disuruh isi sendiri, nyaman lok,” kelakarnya.
Meskipun poskonya bagus dan kepala desanya bersahabat, tetapi
menurut Pampaw di sekelilingnya sering terjadi peristiwa mistis. Malam
pertamanya KKN, dia melihat bola api terbang di langit, hari berikutnya ada suara
orang membuka pintu padahal nggak ada yang membukanya. “Pokoknya tidur
nggak boleh lewat dari jam 10 malam, kalau enggak pasti ada aja yang kayak gitu-gitu,”
kata Pampaw.
Hampir setengah jam ngobrol, dia pamit pulang, takut
kesorean katanya. Bensinnya belum diisi dan sisa sedikit, nggak mungkin mampu
sampai Samarinda yang butuh waktu tempuh sekitar lima jam perjalanan, walaupun
katanya dia bisa memangkasnya sampai empat jam karena selalu gas full kecuali
ada lubang. Tapi masalah bukan berada di kecepatan, dia sekarang lebih butuh
bensin. “Aku sesampai-sampainya saja ini, kalau motornya mati baru beli
bensin eceran,” katanya.
Padahal dari jalan poros Desa Teluk Pandan ke Samarinda
jarang ada orang jual bensin.
Komentar
Posting Komentar
Kalau sudah dibaca langsung kasih komentar ya. Biar blog ini keliatan banyak yang baca.