Introducing Karaoke Feature – KKN Hari ke 45
Senin, 14 Agustus 2017
“Mabuk mabuk
mabuk mabuk duit,
Semua orang mabuk duit,
Siang dan malam mikirin duit,
Yang sudah kaya mabuk duit,
Yang miskin pusing cari duit,” kata Yamini pagi-pagi. Dia menyanyikan lagu itu di ruang
tengah, tepatnya di samping mesin karaoke mini bermerek Polytron.
“Bah, nggak bisa tidur eh,”
kata Mardi yang terbangun dari tidurnya, setelah mendengar suara bising Yamini.
Padahal, dia juga yang kemarin mengangkutnya dari rumah Mba Eti (setelah
diizinkan, tentunya).
Sejak pesta malam Minggu kemarin kami memang ketagihan
nyanyi di mesin karaoke mini milik Mba Eti. Malam itu, kami diajak warga desa
untuk bakar-bakar ikan dan makan bersama di rumah Pak Sukirman. Kami bertemu
anak-anak yang biasa bermain di sepak bola kandang sapi, jadi nggak terlalu
sulit buat mengakrabkan diri. Sekarang, kami nggak merasa asing lagi berada di
desa ini.
Sambil makan ikan bakar, malam itu kami membicarakan
mereka-mereka yang terpilih mewakili Teluk Pandan untuk pertandingan voli antar
desa (di sini voli sama bergengsinya dengan sepak bola), juga membicarakan
lomba-lomba lain selama 17an. Di sela perbincangan, Yusril (biasa dipanggil Uling)
mengajak kami foto bersama menggunakan kamera hp miliknya, untuk
kenang-kenangan katanya. Kami setuju dan langsung berpose.
“Mungkin
10 tahun dari sekarang foto itu akan bernilai,” kata Wawal ketawa ringan.
Setelah bubaran, kami karaoke bersama di rumah mba Eti. Lagu-lagunya
hanya pop era 2.000an atau dangdut yang baru pertama kali kudengar. Bergantian
warga sekitar dan anak KKN bernyanyi lagu-lagu pilihan mereka. Aku yang sudah
beberapa kali ditawari tentu saja nggak maju karena nggak berani.
Karena sama-sama nggak berani nyanyi, aku dan Wawal hanya
saling bercanda dengan Faisal yang saat itu belum pulang ke rumah sejak tadi pagi.
Dengan masih mengenakan seragam olahraga SD-nya, Faisal mulai menjodoh-jodohkan
setiap anak KKN dengan sesama anak KKN atau warga sekitar yang dikenalnya.
Bahkan siswa kelas 6 itu mengajari kami bagaimana cara melamar perempuan.
“Enggar, lihatlah kegantenganku. Maukah kamu menerima
lamaranku?” kata Faisal sambil senyum melebarkan giginya. Dia mengajari
Wawal untuk melamar Enggar yang menurutnya cocok. Selanjutnya, Faisal mulai
mengajari aku dan yang lain dengan format yang sama.
Kami pamit sekitar pukul 12 malam, meninggalkan warga yang
masih dangdutan entah sampai kapan. Mardi dan Rendy bilang kalau mereka masih
mau di sini buat ngobrol-ngobrol. Aku dan Wawal mengantar Faisal ke rumah Om Jamal
yang letaknya hanya tiga rumah dari tempat karaoke (mungkin malam itu dia nggak
pulang ke rumah karena takut ketemu beruang).
Rasanya, di malam sehabis hujan itu, kami merasa hangat oleh
karena kebaikan warga desa.
Paginya ketika baru bangun, mesin karaoke mini itu sudah berada
di posko. Rizky dan Yamini kegirangan karena mereka berdua bisa dangdutan kapan
saja mereka mau. Rencananya di Minggu siang itu kami ingin ke Bontang buat
bertemu Kak Nia (keluargaku) dan Kak Rina (keluarga Wawal), tapi tertunda
sampai pukul tiga sore karena terlalu asyik berkaraoke. Aku dan Wawal langsung berani
bernyanyi. Dasar jago kandang.
Malam di Bontang, setelah mengunjungi rumah Kak Nia, dan Kak
Rina. Kami nongkrong di Hype Cafe buat pesan minuman. Tujuan sebenarnya adalah
mengunduh lagu-lagu baru untuk bahan karaoke yang entah sampai kapan. Mudah-mudahan,
mesin karaokenya tidak meledak seperti kipas angin.
Komentar
Posting Komentar
Kalau sudah dibaca langsung kasih komentar ya. Biar blog ini keliatan banyak yang baca.